SIAK — Bau busuk bisnis haram minyak ilegal kembali tercium di Bumi Lancang Kuning. Dari hasil investigasi lapangan, terkuak adanya jaringan mafia yang bekerja rapi, terstruktur, dan seolah kebal hukum. Semua jejak mengarah pada satu nama: Nuri Silalahi — sosok yang disebut-sebut sebagai otak di balik penyelundupan minyak dari Provinsi Jambi menuju Provinsi Riau.
Mobil-mobil colt diesel bermuatan minyak hasil penyulingan ilegal, atau yang dikenal di lapangan dengan sebutan cong
, melaju nyaris setiap hari di Jalur Lintas Timur. Minyak itu disuplai dari “dapur-dapur” ilegal di Jambi, lalu dibawa ke gudang-gudang penampungan di Kandis dan Ujung Tanjung. Semua berjalan mulus, seperti jalur khusus yang sudah “disterilkan” dari gangguan aparat.
Menurut narasumber yang ditemui di lapangan, jaringan ini tak hanya mengandalkan sopir. Ada pula pengawal khusus dan “korlap” (koordinator lapangan) yang bertugas mengamankan rute dari ujung Jambi hingga jantung Kota Pekanbaru. Saat tim mencoba membuntuti satu armada pengangkut, sopir langsung menghubungi korlap. Tak lama, mobil itu menghilang di tikungan, seakan sudah paham trik menghilangkan ekor.
Praktik ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Setiap tahap—dari pengolahan, pengangkutan, hingga penyimpanan tanpa izin—memiliki ancaman hukuman berat, mulai dari 3 hingga 5 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, ancaman itu seakan hanya jadi tulisan indah di atas kertas.
Jaringan yang dikomandoi Nuri Silalahi ini diduga memiliki “perisai” kuat, sehingga aktivitasnya tetap lancar meski sudah jadi rahasia umum. Pertanyaannya: sampai kapan praktik kotor ini dibiarkan?
Jika aparat benar-benar serius, maka penangkapan besar-besaran seharusnya sudah dilakukan. Rakyat menunggu, apakah hukum di negeri ini masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau justru berani memutus mata rantai mafia minyak ilegal yang menguras sumber daya negara. (Tim)








