ROKAN HILIR – Proses audit terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan Dana Desa Tahun 2024 yang dilakukan Inspektorat Kabupaten Rokan Hilir menuai sorotan publik. Lembaga pengawas internal pemerintah daerah itu diduga tebang pilih dalam memeriksa sejumlah kepenghuluan, bahkan muncul indikasi audit dijadikan alat kriminalisasi terhadap aparatur desa tertentu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari salah satu media online, audit tersebut dikabarkan mencakup 123 kepenghuluan yang tersebar di 18 kecamatan se-Kabupaten Rokan Hilir. Padahal, total kepenghuluan di daerah ini mencapai 159 desa. Artinya, masih ada wilayah yang belum tersentuh audit, meski sama-sama mengelola Dana Desa dalam jumlah besar.
Audit dilakukan terhadap dokumen administrasi dan pelaksanaan fisik berbagai program yang bersumber dari Dana Desa.
Dalam keterangannya di salah satu media, Kepala Inspektorat Kabupaten Rokan Hilir, Syarman Syahroni, membenarkan bahwa tim auditor telah turun ke lapangan secara bertahap.
“Tim auditor Inspektorat turun secara bertahap. Minggu depan akan ada inspeksi lanjutan. Kami ingin pekerjaan ini tuntas secepatnya,” tegas Syarman, Selasa (7/10/2025), dikutip dari GoRiau.com.
Dari hasil pemeriksaan awal, Inspektorat disebut menemukan sejumlah indikasi penyimpangan dalam penggunaan Dana Desa di beberapa kepenghuluan. Dugaan penyimpangan itu terutama terjadi pada program ketahanan pangan (Ketapang) serta proyek fisik swakelola.
Beberapa temuan yang mencuat antara lain penggunaan anggaran tidak sesuai peruntukan, seperti pembelian mobil bekas untuk ambulans desa, pengadaan kebun nenas, serta pembelian ternak kambing, ayam, dan puyuh. Selain itu, sejumlah proyek fasilitas umum juga diduga mengalami mark up, dengan nilai pengerjaan di bawah pagu mencapai sekitar Rp200 juta per item.
“Jika hasil audit membuktikan adanya kerugian negara, maka wajib dikembalikan. Bila tidak, tentu akan berhadapan dengan proses hukum,” tambah Syarman.
Namun, di tengah proses audit yang masih berjalan, muncul dugaan bahwa pemeriksaan tersebut tidak menyeluruh dan cenderung memilih-milih kepenghuluan tertentu. Sejumlah pihak menilai langkah Inspektorat ini berpotensi menjadi instrumen tekanan politik serta alat kriminalisasi terhadap aparatur desa yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu.
Beberapa sumber juga menyebutkan adanya perbedaan perlakuan antar kepenghuluan, di mana desa tertentu diperiksa secara intensif, sementara lainnya seolah luput dari pengawasan.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Apakah Inspektorat benar-benar menjalankan audit secara profesional dan independen, atau justru ada intervensi politik di balik proses tersebut?
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi lanjutan dari pihak Inspektorat terkait tudingan “tebang pilih” dan indikasi kriminalisasi tersebut. Publik berharap lembaga pengawasan itu bekerja transparan, adil, dan bebas kepentingan, demi menjaga integritas serta kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan Dana Desa di Kabupaten Rokan Hilir.







